Halaman

Jumat, 30 November 2012

Kisah Pierre Cardin


Pada 1938, ada seorang pemuda berumur 16 tahun datang ke Paris mencari impiannya. Dia memiliki cita-cita menjadi seorang penari.

Ketika itu menari adalah sebuah profesi yang sangat populer, juga merupakan sebuah bidang kesenian dari para bangsawan. Bagi mereka yang ekonomi keluarganya rendah, sama sekali tidak akan mampu membiayai anaknya masuk ke sekolah seni tari.
Pemuda itu pantang putus asa, setiap hari ia mengajukan bantahan yang keras berdasar pada dalil yang dianggapnya benar, bahkan mogok makan untuk melawan. Ayahnya kehabisan akal, terpaksa menyepa-kati suatu perjanjian secara gentleman dengannya.

Sepakat untuk memperbolehkan dia sekolah seni tari pada malam hari, tetapi pagi hari dia harus berdikari, berusaha mendapatkan uang untuk membayar uang sekolah dan biaya hidup.

Pemuda ini tidak memiliki keahlian yang lain, kecuali sejak kecil dia telah belajar bagaimana menjahit dari ayah dan ibunya. Akhirnya dia memaksakan diri mencari pekerjaan di sebuah penjahit, tetapi gajinya sangat rendah sekali, lagi pula banyak menguras tenaga, setiap hari harus bekerja selama 10 jam lebih.

Tiga bulan kemudian, pemuda yang sangat letih dan lelah ini merasa putus asa, dia lalu menulis sepucuk surat kepada professor Budderli yang pada saat itu disebut sebagai pakar ballet, juga sebagai figure dalam hatinya, untuk menanyakan petunjuk dan saran.

Budderli sangat bersimpati pada nasib sial yang dialami oleh pemuda ini, tetapi mempelajari seni tari bukan hanya membutuhkan bakat, dan hobi, masih membutuhkan faktor ekonomi, lingkungan dan lain-lain yang mendukungnya.

Hanya berdasarkan antusiasme dan keyakinan saja adalah sangat jauh dari cukup. Dengan cepat sekali Budderli membalas surat dari pemuda ini. Dalam suratnya dia telah menganalisa secara menyeluruh syarat-syarat belajar seni tari, bersamaan dengan itu menyadarkan si pemuda bahwa boleh menjadikan tarian sebagai sebagian dari jiwanya, tetapi tidak boleh menjadikannya sebagai keseluruhan jiwa.

Surat balasan dari Budderli telah menyadarkan pemuda itu, dia memutuskan mencari suatu jalan yang cocok dengan dirinya untuk mempertahankan hidup, setelah situasinya memungkinkan, baru kembali mempelajari tarian. Tetapi persoalannya dimanakah jalan tersebut?

Suatu malam, pemuda ini pergi ke suatu bar minum bir dengan perasaan galau. Saat itu, ada seorang Countess yang berpenampilan sangat anggun datang menghampiri dirinya, meraba-raba baju yang dipakai di tubuhnya, dan mulutnya tak henti-hentinya memuji, dan menanyakan kepadanya di mana ia membelinya?

 Ketika Countess itu mendengar bahwa baju itu adalah hasil disain dari pemuda itu sendiri, dia sangat takjub sekali, "Nak, saya ada firasat, kelak Anda pasti bisa menjadi seorang jutawan!"

Saat itu juga, pemuda itu mendadak tersadar, cara mempertahankan hidup yang paling sesuai dengan dirinya adalah menjahit. Karena profesi ini sangat dikenalnya dengan baik, juga adalah yang paling realistis, walaupun profesi ini pernah membawakan kebimbangan dan kesengsaraan bagi dirinya.

Segera, melalui bantuan Countess itu, ia lalu menghubungi dan mengadakan kerja sama dengan Bo Kan, sebuah butik khusus busana wanita yang sangat ternama di Paris.

Berdasarkan inspirasi yang didapat dari melakukan profesi menari dan bakat untuk merancang, sejak saat itu pemuda ini telah merintis jalan merancang busana fashion. Sepuluh tahun kemudian, status pemuda ini sudah berubah menjadi seorang ahli perancang busana fashion yang ternama di seluruh dunia. Dia adalah Pierre Cardin.

Pengertian dari keberhasilan selamanya tidak bisa dipastikan, oleh sebab itu telah menciptakan ribuan bahkan puluhan ribu jalan kehidupan manusia.

 Ada seorang ahli filsafat pernah mengatakan : Dalam kehidupan tidak akan berhasil melakukan dua hal. Waktu dan energi dari setiap orang sangat terbatas, ketika Anda tersesat dan kehilangan arah di persimpangan jalan dari kehidupan, ingatlah untuk selalu memilih jalan yang paling Anda kenal, dan yang paling realistis, acapkali pilihan Anda itu adalah suatu jalan yang paling dekat menuju keberhasilan. (The Epoch Times/lin)

Sumber:
http://www.epochtimes.co.id/kehidupan.php?id=32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar