Anak saya Bob berusia 11 tahun, pada suatu hari pulang sekolah sambil menangis, karena dipukul oleh beberapa murid yang lebih besar dari dia di terminal bus.
Bob sekarang tidak berani pergi ke sekolah, saya melapor pada sekolah, dan penanggung jawab sekolah menyuruh saya melaporkan hal ini kepada polisi, tetapi istri saya tidak setuju.
Esok hari adalah Hari Sabtu, Bob sedang memandang keluar dari jendela, tiba-tiba dengan panik dia berteriak, “Anak yang memukul saya sekarang ada di luar.”
Kami semua melihat ke arah luar, dua anak yang lebih besar dari Bob terlihat sedang berjalan di depan rumah kami. Saya memutuskan akan keluar memberi peringatan kepada mereka, tetapi istri saya Betty mencegahnya, lantas ia dengan tersenyum membuka pintu rumah sambil berkata kepada mereka, “Halo, masuk ke rumah yuk, kita akan makan es krim, bagaimana?”
Mendengar tawaran makan es krim, kedua anak itu saling memandang, kelihatannya bingung. Meskipun telah besar, mereka hanyalah anak berusia belasan tahun, sambil mengangkat bahu mereka mengikuti istri saya masuk ke rumah.
Sesampai di ruang tamu, dengan santai Betty memperkenalkan diri, adik Bob, serta saya. Dia juga memperkenalkan anjing keluarga kami. “Saya rasa kalian sudah mengenal Bob,” ujar istri saya.
Dia menunjuk ke arah Bob. Saya tahu maksud istri saya, ingin memberitahu kepada mereka, bahwa Bob juga seorang manusia, bukan target. Dia mempunyai keluarga yang bahagia, bahkan mempunyai seekor anjing yang lucu.
Ketika mereka menikmati es krim, Betty kelihatan sudah sangat akrab mengobrol dengan mereka. Setelah beberapa menit, dia sengaja menyinggung masalah Bob, “Saya tahu kejadian yang terjadi di terminal bus, saya rasa di dalamnya pasti ada salah paham.”
Mereka mengangguk kepala mengiyakan, mereka menyatakan bahwa memang di terminal bus terjadi salah paham. Betty lalu berkata, “Bob ingin berteman dengan kalian, mungkin kita dapat membicarakan kesalahpahaman di antara kalian, sehingga kalian bisa menjadi teman.”
Setelah masalah ini berlalu seminggu, wakil kepala sekolah menelpon, menanyakan seputar perkelahian tersebut. Saya mengatakan kepadanya, bahwa masalahnya telah di selesaikan, tetapi tidak melalui polisi, hanya dengan es krim menyelesaikan masalah tersebut.
Cerita di atas mengartikan bahwa “berdamai” adalah sebuah perkataan yang memang sulit untuk dikeluarkan, bahkan lebih sulit dilakukan, tetapi kita harus belajar bagaimana menyelesaikannya.
Sumber:
http://www.epochtimes.co.id/kehidupan.php?id=878
Tidak ada komentar:
Posting Komentar